Hepatoma

blogger templates
I. PENDAHULUAN
Hepatoma atau karsinoma hepatoselular (Hepatocellular carcinoma/ HCC) merupakan tumor ganas hati primer yang berasal dari hepatosit. Tumor ganas hati lainnya, kolangiokarsinoma (Cholangiocarsinoma=CC) dan sistoadenokarsinoma berasal dari sel epitel bilier sedangkan angiosarkoma dan leiomiosarkoma berasal dari sel mesenkim. Dalam kehidupan sehari-hari ditemukan kasus dimana pria lebih banyak menderita penyakit ini dibandingkan wanita. Biasanya ditemukan pada usia 50-60 tahun. Beberapa tahun terakhir ini terjadi perkembangan pada modalitas terapi yang dapat memberikan harapan untuk sekurang-kurangnya perbaikan pada kualitas hidup pasien. 

Kanker yang berasal dari sel-sel hati ini secara makroskopis dibedakan atas tipe masif, nodular, dan difus. Tipe masif umumnya terjadi di lobus kanan, berbatas tegas, dan dapat dikelilingi nodul-nodul kecil. Tipe nodular tampak berupa nodul-nodul dengan ukuran bervariasi dan terjadi di seluruh hati. Adapun karsinoma tipe difus sukar ditentukan batas-batasnya. 

II. EPIDEMIOLOGI 
Hepatoma atau HCC meliputi 5,6% dari seluruh kasus kanker pada manusia, menempati peringkat ke-5 pada laki-laki dan kesembilan pada perempuan sebagai kanker tersering di dunia, serta urutan ketiga dari kanker sistem saluran cerna setelah kanker kolorektal dan kanker lambung. Tingkat kematian hepatoma juga sangat tinggi, di urutan kedua setelah kanker pankreas. 

Angka kejadian tumor ini di Amerika Serikat hanya sekitar 2% dari seluruh karsinoma yang ada. Sebaliknya, sekitar 80% dari kasus hepatoma di dunia berada di negara berkembang seperti Asia Timur dan Asia Tenggara serta Afrika Tengah yang diketahui sebagai wilayah dengan prevalensi tinggi hepatitis virus. Di Afrika dan Asia hepatoma adalah karsinoma yang paling sering ditemukan dengan angka kejadian 100/100.000 populasi. Setiap tahun muncul 350.000 kasus baru di Asia, 1/3nya terjadi di Republik Rakyat China. Di Eropa kasus baru berjumlah sekitar 30.000 per tahun, di Jepang 23.000 per tahun, di Amerika Serikat 7000 per tahun dan kasus baru di Afrika 6x lipat dari kasus di Amerika Serikat. Lebih dari 80% pasien hepatoma menderita sirosis hati. Hepatoma biasa dan sering terjadi pada pasien dengan sirosis hati yang merupakan komplikasi hepatitis virus kronik. Hepatitis virus kronik adalah faktor risiko penting hepatoma, virus penyebabnya adalah virus hepatitis B dan C. Pasien hepatoma 88% terinfeksi virus hepatitis B atau C. Tampaknya virus ini mempunyai hubungan yang erat dengan timbulnya hepatoma. 

Hepatoma jarang ditemukan pada usia muda kecuali di wilayah yang endemik infeksi serta banyak terjadi transmisi HBV perinatal. Infeksi HBV sebagai salah satu penyebab terpenting hepatoma banyak ditularkan pada masa perinatal atau masa kanak-kanak kemudian hepatoma terjadi sesudah dua-tiga dasawarsa. Bayi dan anak kecil yang terinfeksi virus ini lebih mempunyai kecenderungan menderita hepatitis virus kronik daripada dewasa yang terinfeksi virus ini untuk pertama kalinya. 

III. ETIOLOGI 
A. Virus Hepatitis B
Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya hepatoma terbukti kuat, baik secara epidemiologis, klinis maupun eksperimental. Sebagian besar wilayah yang hiperendemik HBV menunjukkan angka kekerapan hepatoma yang tinggi. Umur saat terjadinya infeksi merupakan faktor resiko penting karena infeksi HBV pada usia dini berakibat akan terjadinya kronisitas. Karsinogenitas HBV terhadap hati mungkin terjadi melalui proses inflamasi kronik, peningkatan proliferasi hepatosit, integrasi HBV DNA ke dalam DNA sel penjamu, dan aktifitas protein spesifik-HBV berinteraksi dengan gen hati. Pada dasarnya, perubahan hepatosit dari kondisi inaktif menjadi sel yang aktif bereplikasi menentukan tingkat karsinogenesis hati. Siklus sel dapat diaktifkan secara tidak langsung akibat dipicu oleh ekspresi berlebihan suatu atau beberapa gen yang berubah akibat HBV. Infeksi HBV dengan pajanan agen onkogenik seperti aflatoksin dapat menyebabkan terjadinya hepatoma tanpa melalui sirosis hati. 

B. Virus Hepatitis C
Di wilayah dengan tingkat infeksi HBV rendah, HCV merupakan faktor resiko penting dari hepatoma. Infeksi HCV telah menjadi penyebab paling umum karsinoma hepatoseluler di Jepang dan Eropa, dan juga bertanggung jawab atas meningkatnya insiden karsinoma hepatoseluler di Amerika Serikat, 30% dari kasus karsinoma hepatoseluler dianggap terkait dengan infeksi HCV. Sekitar 5-30% orang dengan infeksi HCV akan berkembang menjadi penyakit hati kronis. Dalam kelompok ini, sekitar 30% berkembang menjadi sirosis, dan sekitar 1-2% per tahun berkembang menjadi karsinoma hepatoseluler. Resiko karsinoma hepatoseluler pada pasien dengan HCV sekitar 5% dan muncul 30 tahun setelah infeksi. Penggunaan alkohol oleh pasien dengan HCV kronis lebih beresiko terkena karsinoma hepatoseluler dibandingkan dengan infeksi HCV saja. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa penggunaan antivirus pada infeksi HCV kronis dapat mengurangi risiko karsinoma hepatoseluler secara signifikan. 

C. Sirosis Hati
Sirosis hati merupakan faktor resiko utama hepatoma di dunia dan melatarbelakangi lebih dari 80% kasus hepatoma. Penyebab utama sirosis di Amerika Serikat dikaitkan dengan alkohol, infeksi hepatitis C, dan infeksi hepatitis B. Setiap tahun, 3-5% dari pasien dengan sirosis hati akan menderita hepatoma. Hepatoma merupakan penyebab utama kematian pada sirosis hati. Pada otopsi pada pasien dengan sirosis hati, 20-80% di antaranya telah menderita hepatoma. 

D. Aflatoksin
Aflatoksin B1 (AFB1) meruapakan mikotoksin yang diproduksi oleh jamur Aspergillus. Dari percobaan pada hewan diketahui bahwa AFB1 bersifat karsinogen. Aflatoksin B1 ditemukan di seluruh dunia dan terutama banyak berhubungan dengan makanan berjamur. Pertumbuhan jamur yang menghasilkan aflatoksin berkembang subur pada suhu 13°C, terutama pada makanan yang menghasilkan protein. Di Indonesia terlihat berbagai makanan yang tercemar dengan aflatoksin seperti kacang-kacangan, umbi-umbian (kentang rusak, umbi rambat rusak,singkong, dan lain-lain), jamu, bihun, dan beras berjamur. 

Salah satu mekanisme hepatokarsinogenesisnya ialah kemampuan AFB1 menginduksi mutasi pada gen supresor tumor p53. Berbagai penelitian dengan menggunakan biomarker menunjukkan ada korelasi kuat antara pajanan aflatoksin dalam diet dengan morbiditas dan mortalitas hepatoma. 

E. Obesitas
Suatu penelitian pada lebih dari 900.000 individu di Amerika Serikat diketahui bahwa terjadinya peningkatan angka mortalitas sebesar 5x akibat kanker pada kelompok individu dengan berat badan tertinggi (IMT 35-40 kg/m2) dibandingkan dengan kelompok individu yang IMT-nya normal. Obesitas merupakan faktor resiko utama untuk non-alcoholic fatty liver disesease (NAFLD), khususnya non-alcoholic steatohepatitis (NASH) yang dapat berkembang menjadi sirosis hati dan kemudian berlanjut menjadi hepatoma. 

F. Diabetes Mellitus
Tidak lama ditengarai bahwa DM menjadi faktor resiko baik untuk penyakit hati kronis maupun untuk hepatoma melalui terjadinya perlemakan hati dan steatohepatitis non-alkoholik (NASH). Di samping itu, DM dihubungkan dengan peningkatan kadar insulin dan insulin-like growth factors (IGFs) yang merupakan faktor promotif potensial untuk kanker. Indikasi kuatnya aasosiasi antara DM dan hepatoma terlihat dari banyak penelitian. Penelitian oleh El Serag dkk. yang melibatkan173.643 pasien DM dan 650.620 pasien bukan DM menunjukkan bahwa insidensi hepatoma pada kelompok DM lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan insidensi hepatoma kelompok bukan DM. 

G. Alkohol
Meskipun alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenik, peminum berat alkohol (>50-70 g/hari atau > 6-7 botol per hari) selama lebih dari 10 tahun meningkatkan risiko karsinoma hepatoseluler 5 kali lipat. Hanya sedikit bukti adanya efek karsinogenik langsung dari alkohol. Alkoholisme juga meningkatkan resiko terjadinya sirosis hati dan hepatoma pada pengidap infeksi HBV atau HVC. Sebaliknya, pada sirosis alkoholik terjadinya HCC juga meningkat bermakna pada pasien dengan HBsAg positif atau anti-HCV positif. Ini menunjukkan adanya peran sinergistik alkohol terhadap infeksi HBV maupun infeksi HCV. 

IV. PATOLOGI
Perubahan morfologi yang terjadi pada hati seringkali mirip untuk berbagai virus yang berlainan. Pada kasus yang klasik , hati tampaknya berukuran dan berwarna normal, namun kadang-kadang agak edema, membesar dan pada palpasi “teraba nyeri di tepian”. Secara histologi, terjadi kekacauan susunan hepatoseluler, cedera dan nekrosis sel hati dalam berbagai derajat, dan peradangan periportal. Perubahan ini bersifat reversibel sempurna, bila fase akut penyakit mereda. Pada beberapa kasus, nekrosis submasif atau masif dapat mengakibatkan gagal hati fulminan dan kematian. 

Secara makroskopis biasanya tumor berwarna putih, padat, kadang nekrotik kehijauan atau hemoragik. Acap kali ditemukan trombus tumor di dalam vena hepatika atau porta intrahepatik. Pembagian atas tipe morfologinya adalah, 1. Ekspansif, dengan batas yang jelas, 2. Infiltratf, menyebar/menjalar, 3. Multifokal. Tipe ekspansif lebih sering ditemukan pada hati nonsirotik. Menurut WHO secara histologik HCC dapat diklasifikasikan berdasarkan organisasi struktural sel tumor sebagai berikut, 1) Trabekular (sinusoidal), 2) Pseudoglandular (asiner), 3) Kompak (padat), 4) Sirous. 

Karakteristik terpenting untuk memastikan HCC pada tumor yang diameternya lebih kecil dari 1,5 cm adalah bahwa sebagian besar tumor terdiri semata-mata dari karsinoma yang berdeferensiasi baik, dengan sedikit atipia selular atau struktural. Bila tumor ini berpoliferasi, berbagai variasi histologik beserta dediferensiasinya dapat terlihat di dalam nodul yang sama. Nodul kanker yang diameternya kurang dari satu cm seluruhnya terdiri dari jaringan kanker yang berdiferensiasi baik. Bila diameter tumor antara 1 dan 3 cm, 40% dari nodulnya terdiri atas lebih dari 2 jaringan kanker dengan derajat diferensiasi yang berbeda-beda. 

V. KARAKTERISTIK KLINIS 
Di Indonesia (khususnya Jakarta), hepatoma ditemukan tersering pada median umur antara 50-60 tahun, dengan predominasi pada laki-laki. Rasio antara kasus laki-laki dan perempuan berkisar antara 2-6 : 1. Manifestasi klinisnya sangata bervariasi, dari asimtomatik hingga yang gejala dan tandanya sangat jelas dan disertai gagal hati. Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri atau perasaan tidak nyaman di kuadran kanan atas abdomen. Pasien sirosis yang makin memburuk kondisinya, disertai keluhan nyeri di Kuadran kanan atas atau teraba pembengkakan local di hepar patut dicurigai menderita HCC. Demikian juga bila tidak terjadi perbaikan pada Ascites, perdarahan varices atau prekoma setelah diberi terapi yang adekuat atau pasien penyakit kronik dengan HbsAG atau anti-HCV positif yang mengalami perburukan kondisi secara mendadak. Juga harus diwaspadai bila ada keluhan rasa penuh di abdomen atau kembung disertai perasaan lesu, penurunan berat badan dengan atau tanpa demam. 


Temuan fisis tersering pada hepatoma adalah hepatomegali, spleenomegali, asites, ikterus, demam, dan atrofi otot. Sebagian dari pasien yang dirujuk ke rumah sakit karena perdarahan varises esophagus atau peritonitis bacterial spontan (SBP) ternyata sudah menderita HCC. Pada 10-40 % pasien dapat ditemukan hiperkolesterolemia akibat dari berkurangnya produksi enzim beta-hidroksimetilglutaril koenzim-A reduktase karena tidak adanya kontrol umpan balik yang normal pada sel hepatoma. 

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG 
A. Penanda Tumor
Alfa-fetoprotein (AFP) adalah protein serum normal yang disintesis oleh sel hati fetal, sel yolk-sac dan sedikit sekali oleh saluran gastrointestinal fetal. Kadar AFP akan menurun segera setelah lahir. Rentang normal AFP adalah 0-20 ng/ml. Kadar AFP meningkat pada 60-70% dari pasien hepatoma dan kadar lebih dari 400 ng/ml adalah diagnostik atau sangat sugestif untuk hepatoma. Nilai normal dapat ditemukan pada hepatoma stadium lanjut. Hasil positif-palsu dapat ditemukan oleh hepatitis akut atau kronik dan pada kehamilan. Penanda tumor lain untuk hepatoma adalah des-gamma carboxy prothrombin (DCP) atau PIVKA-2 yang kadarnya meningkat hingga 91% dari pasien hepatoma, namun juga meningkat pada pasien dengan defisiensi vitamin K, hepatitis kronis aktif atau metastasis karsinoma. 

B. Ultrasonografi Abdomen
Untuk meminimalkan kesalahan hasil pemeriksaan AFP, pasien sirosis hati dianjurkan menjalani pemeriksaan USG setiap tiga bulan. Untuk tumor kecil pada pasien dengan resiko tinggi, USG lebih sensitif daripada AFP serum berulang. Sensitifitas USG untuk neoplasma hati berkisar antara 70-80%. Tampilan USG yang khas untuk HCC kecil adalah gambaran mosaik, formasi septum, bagian perifer sonolusen, bayangan lateral yang dibentuk oleh pseudokapsul fibrotik, serta penyangatan eko posterior. Berbeda dari tumor metastasis, hepatoma dengan diameter kurang dari 2 sentimeter mempunyai gambaran bentuk cincin yang khas. USG colour Doppler sangat berguna untuk membedakan hepatoma dari tumor yang lain. 
Gambar Hasil USG pasien dengan hepatoma

C. Strategi Skrining dan Surveilans
Skrining dimaksudkan sebagai aplikasi pemeriksaan diagnostik pada populasi umum, sedangkan Surveilans adalah aplikasi berulang pemeriksaan diagnostik pada populasi yang berisiko untuk suatu penyakit sebelum ada bukti bahwa penyakit tersebut sudah terjadi. Karena sebagian dari pasien HCC, dengan atau tanpa sirosis, adalah tanpa gejala, untuk mendeteksi dini HCC diperlukan strategi khusus terutama bagi pasien sirosis hati dengan HbsAg atau anti-HCV positif. Berdasarkan atas lamanya waktu penggandaan diameter HCC yang berkisar antara 3 sampai 12 bulan, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan AFP serum dan USG abdomen setiap 3 hingga 6 bulan bagi pasien sirosis maupun hepatitis kronik B atau C. Cara ini di Jepang terbukti dapat menurunkan jumlah pasien HCC yang terlambat dideteksi dan sebaliknya meningkatkan identifikasi tumor dini atau kecil. Namun hingga kini masih belum jelas apakah dengan demikian juga terjadi penurunan mortaliatas. 

VII. TERAPI
Karena sirosis hati yang melatarbelakanginya serta tingginya kekerapan multi-nodularitas, resektabilitas HCC sangat rendah. Di samping itu kanker ini juga sering kambuh meskipun sudah menjalani reseksi bedah kuratif. Pilihan terapi ditetapkan berdasarkan atas ada tidaknya sirosis, jumlah dan ukuran tumor, serta derajat pemburukan hepatik. Untuk menilai status klinis, skor childpugh menunjukkan estimasi yang akurat mengenai pasien. Telaah mengenai terapi HCC menemukan sejumlah kesulitan karena terbatasnya penelitian dengan kontrol yang membdingkan efikasi terapi bedah atau ablatif lokoregional, di samping besarnya heterogenitas kelompok kontrol pada berbagai penelitian individu. 

A. Reseksi Hepatik
Untuk pasien dalam kelompok non-sirosis yang biasanya memiliki fungsi hati normal, pilihan utama terapi adalah reseksi hepatik. Namun untuk pasien sirosis diperlukan kriteria seleksi karena operasi dapat memicu timbulnya gagal hati yang dapat menurunkan angka harapan hidup. Parameter yang dapat digunakan untuk seleksi adalah skor Child-pugh dan derajat hipertensi portal saja. Subjek bilirubin normal tanpa hipertensi portal yang bermakna, harapan hidup 5 tahunnya dapat mencapai 70% kontraindikasi tindakan ini adalah adanya metastatis ekstahepatik, HCC difus atau multifokal, sirosis stadium lanjut dan penyakit penyerta yang dapat mempengaruhi ketahanan pasien menjalani operasi. 

B. Transplantasi Hati
Bagi pasien hepatoma dan sirosis hati, transplantasi hati memberikan kemungkinan untuk menyingkirkan tumor dan menggantikan parenkim hati yang mengalami disfungsi. Kematian pasca transplantasi tersering diakibatkan oleh rekurensi tumor di dalam maupun di luar transplan. Tumor yang berdiameter < 3 cm lebih jarang kambuh dibandingkan dengan tumor yang berdiameter 5 cm. 

C. Terapi Paliatif
1. TACE (transarterial chemo embolization)
Sebagian besar pasien hepatoma terdiagnosis pada stadium menengah-lanjut, yang tidak ada terapi standarnya. Pada stadium ini hanya TACE (transarterial chemo embolization) saja yang menunjukkan penurunan pertumbuhan tumor serta dapat meningkatkan harapan hidup pasien dengan hepatoma yang tidak resektabel. 

Hepatoma merupakan tumor yang vaskular (mengandung banyak pembuluh darah) dan mendapat pasokan darah dari cabang-cabang arteri hepatik. Pada TACE, pembuluh darah kecil diblok dengan berbagai jenis senyawa seperti busa gel atau bahkan gulungan logam kecil. Caranya dengan memasukkan kateter ke dalam arteri hepatik melalui arteri transfemoralis kemudian disuntikkan potongan-potongan kecil “gel foam”. Teknik ini akan menghambat suplai darah ke tumor sehingga sel tumor akan mati. Namun, teknik ini juga memiliki beberapa kelemahan seperti terjadinya neovaskularisasi arteri sehingga dibutuhkan embolisasi ulang yang kadang-kadang tidak berhasil. 

2. Kemoterapi dan Radiasi
Kedua cara ini biasanya tidak efektif. Namun, cara tersebut bisa berguna unuk mengecilkan tumor sehingga dapat dioperasi. Sorafenib tosylate (Nexavar), obat oral yang dapat memblok pertumbuhan tumor, diindikasikan pada pasien dengan hepatoma lanjut yang tidak dapat direseksi. 

VIII. PROGNOSIS
Pada permulaan penyakit, sering hepatoma berjalan perlahan, tanpa keluhan atau gejala yang jelas, karenanya sering penderita tidak menyadari sampai tumor ukuran yang besar sehingga prognosisnya jelek. 

Referensi: Buku Ajar Penyakit Dalam


0 Response to "Hepatoma"

Post a Comment